Ada sebuah pertanyaan yang agak bodoh. Jika orang ditanya; Mau pilih untung
atau rugi? Pastilah dia memilih untung. Memangnya siapa diantara kita yang mau
rugi? Apalagi kalau ditanya; Kamu mau bangkrut atau tidak? Hah! Rugi saja tidak
mau, apalagi kalau sampai bangkrut. Ya jelas tidaklah. Tapi, tunggu dulu.
Kira-kira, mengapa ada orang yang begitu dungunya hingga bersusah payah
menyampaikan pertanyaan pilon itu? Ternyata pertanyaan itu memang layak
diajukan kepada kita. Karena, meskipun secara konsepsi kita tidak ingin rugi,
namun perilaku kita sehari-hari menunjukkan bahwa kita sedang menuju kepada
kerugian. Kita yang merasa tidak pernah rugi dalam berbisnis mungkin
menyangkalnya. Namun, benarkah demikian?
Adalah Rosululah SAW pada suatu hari, beliau melintasi
sebuah kota. Kepada orang-orang dikota itu beliau bertanya; apakah kalian tahu
apa artinya untung, rugi, dan bangkrut? Sungguh, itu pertanyaan gampang.
Sehingga setiap orang bisa menjawabnya dengan mudah. Namun, tak satupun dari
jawaban itu yang memuaskan sang Rosul. Lalu dia berkata : ” Orang-orang yang
beruntung adalah mereka yang dihari ini, lebih baik dari hari kemarin. Mereka
yang tidak lebih baik dari hari kemarin, adalah orang-orang yang merugi.
Sedangkan jika dihari ini dirinya lebih buruk dari hari kemarin, maka mereka
adalah orang-orang yang bangkrut
Jadi untuk menilai apakah kita untung, rugi atau
bangkrut caranya sederhana, yaitu; membandingkan hari ini dengan hari kemarin
sebagai acuan. Jika kita bisa menjadikan hari ini lebih baik dari hari kemarin,
maka kita sungguh menjadi orang yang beruntung itu. Namun, sekiranya kita hanya
bisa menjalani hari ini dengan nilai yang setara dengan hari kemarin, maka
sesungguhnya kita ini merugi. Apalagi sekiranya dihari ini, perilaku kita,
sikap kita, cara berpikir kita lebih buruk dari hari kemarin. Maka, kita masuk
kedalam kelompok orang-orang yang bangkrut.
Kita cenderung menggunakan jumlah uang, harta
kekayaan, dan kesuksesan dalam karir untuk mengukur untung dan rugi. Hari ini,
kita diajak untuk melihat untung dan rugi dengan perspektif lain. Dengan
menggunakan KONSEP PERTUMBUHAN. Yaitu, konsep untuk bertumbuh. Terus bertumbuh.
Dan terus bertumbuh dari hari kemarin, menuju ke hari ini, dan melanjutkannya
ke hari esok. Konsep ini, tidak hanya berlaku bagi orang-orang yang sedang
membangun kesuksesan non-material belaka. Kita yang tengah berfokus kepada
kesuksesan material juga bisa menggunakannya sebagai sarana untuk meningkatkan
kinerja kapital Kita. Jika Kita mendapatkan seribu rupiah kemarin, Kita mesti
mendapatkan lebih dari seribu hari ini. Jika tidak, maka artinya Kita rugi,
atau malah bangkrut. Dari sudut pandang ilmu ekonomi, uang seribu rupiah hari
ini nilainya lebih rendah dari seribu rupiah kemarin sebagai konsekuensi dari
inflasi. Jadi, hikmah yang diajarkan seribu limaratus tahun lalu ini sungguh
sangat relevan dihari ini.
Tapi, memang benar bahwa untuk sesaat kita perlu
keluar dari alam materialistik menuju kepada dimensi non-materialistik. Toh,
tubuh kita terdiri dari dua bagian penting; fisik dan non-fisik. Komponen fisik
dibangun oleh unsur-unsur material. Sedangkan komponen non-fisik disusun oleh
unsur-unsur non-material. Oleh karenanya, untuk menjadikan diri kita utuh; kita
harus bersedia menembus hal-hal non-material itu.
Dalam perspektif non-fisik, konsep ini mengisyaratkan
dua aspek penting. Aspek pertama berhubungan dengan pengetahuan, keterampilan
atau keahlian. Pendek kata, kita ditantang untuk memastikan bahwa pengetahuan
kita hari ini lebih banyak atau lebih baik dari hari kemarin. Maknanya? Kita
mesti benar-benar menerapkan apa yang biasa kita sebut sebagai LONG LIFE
LEARNING PROCESS. Ibu saya yang tidak berbahasa Inggris menasihatkan; Ulah
liren diajar. Artinya, ˜jangan pernah berhenti belajar”. Dan itu betul. Sebab,
jika kita berhenti belajar, maka pengetahuan kita dihari ini tidak lebih baik
dari hari kemarin. Jika demikian, kita tidak termasuk orang yang beruntung.
Aspek kedua berhubungan dengan perilaku, sikap serta
tindak-tanduk kita. Aspek ini bisa menjadi lebih penting bobotnya dari yang
pertama. Karena, kita sudah tahu bahwa sikap bisa berarti segala-galanya. Orang
yang sikapnya buruk, kemampuan belajarnya juga buruk. Sehingga dengan sikap
buruk, kita tidak bisa mengadopsi keterampilan dan keahlian yang lebih baik. Seorang
karyawan yang bersikap buruk ditempat kerja, tidak akan bersedia untuk
mempelajari hal baru. Menangani tugas-tugas tambahan. Atau melatih diri untuk
mengasah keahlian. Seorang karyawan yang berpikiran dan berprasangka buruk pun
demikian. Apapapun yang dilakukan atasannya, akan dicurigai dan disikapi dengan
buruk.
Sebaliknya, orang-orang yang bersikap baik. Berpikir
positif. Membuka diri terhadap kritik. Pastilah akan mendapatkan peningkatan
bermakna hampir dalam segala hal. Bahkan, sekalipun memang benar bahwa
atasannya memperlakukan dia secara tidak adil. Memangnya, kita bisa selalu
bersikap positif untuk setiap tindakan buruk yang dilakukan oleh orang lain
kepada kita? Memangnya, kita selalu bisa bersikap positif untuk
peristiwa-peristiwa menyakitkan yang menimpa kita? Tentu saja bisa. Mengapa?
Karena, kita semua mengetahui dan meyakini bahwa dalam setiap peristiwa; ada
sisi baik dan ada sisi buruk. Bahkan, kejadian yang baikpun ada sisi buruknya.
Sebaliknya, peristiwa buruk selalu ada sisi baiknya. Itulah sebabnya kita
mempunyai istilah; ˜dua sisi mata uang”. Mana ada uang yang hanya memiliki satu
sisi? Sikap yang baik akan membantu kita untuk selalu menemukan sisi baik dari
hal apapun yang kita hadapi.
Sampai disini, jelas sudah bahwa sesungguhnya, Rosulullah mengajari kita tentang sebuah prinsip sederhana, yaitu; MANJADI MANUSIA YANG LEBIH BAIK, DARI HARI KEHARI. Bisakah Kita membayangkan sekiranya kita menjadi lebih baik setiap hari? Tentu pencapaian kita akan semakin baik dari hari ke hari juga.
Tapi tunggu dulu. Pelajaran kita belum selesai. Sebab,
kedua aspek non material yang baru saja kita bahas itu baru menyentuh alam
duniawi. Bagi kita yang meyakini bahwa selain dunia ini juga ada alam akhirat;
tentu tidak cukup jika hanya mementingkan dan memperjuangkan urusan dunia saja.
Urusan akhirat sama pentingnya. Sehingga kalimat itu selengkapnya berbunyi;
˜menjadi manusia yang lebih baik dari hari ke hari dimata Allah ”. Semakin
hari, hati kita semakin bersih. Niat kita semakin tulus. Dan kepatuhan kita
kepada kehendak Tuhan menjadi semakin tinggi. Bisakah Kita membayangkan
sekiranya dimata Tuhan kita bisa menjadi hamba yang lebih baik setiap hari?
Tentu nilai kemanusiaan kita akan semakin meningkat dari hari ke hari juga.
Dan, jika kita ingat doa yang paling sering kita
panjatkan. Doa yang berbunyi; Ya Allah, berikanlah kepadaku kesuksesan di
Dunia, dan kesuksesan d Aakhirat. Tentu kita juga akan sadar bahwa menjadi
lebih baik dalam urusan dunia saja, tidaklah cukup. Mungkin kita untung secara
duniawi. Pengetahuan kita semakin bertambah. Keterampilan kita semakin tinggi.
Penghasilan kita semakin banyak. Rumah kontrakan diganti menjadi hunian
cicilan. Sepeda motor beroda dua berubah menjadi mobil. Dari naik angkot
menjadi menyetir mobil sendiri. Tapi, kalau nilai akhirat kita tidak menjadi
lebih baik apa artinya? Apalagi jika semua peningkatan dan kenikmatan hidup itu
semakin menjauhkan diri kita dari Aturan Allah. Kita untung untuk ukuran dunia,
tapi merugi berdasar kriteria Akhirat.
Ini sungguh sesuatu yang sangat menakutkan.
Menakutkan, karena hidup didunia ini hanya tinggal beberapa saat. Belum tentu
umur kita sampai ke tahun depan. Betapapun berhasilnya kita secara duniawi,
kenikmatannya hanya bisa dirasakan sementara. Sedangkan akhirat? Dia abadi. Selamanya.
Menakutkan jika hanya sempat mengecap nikmat didunia sesaat. Namun, tidak dapat
mengecap nikmat akhirat yang NIKMATNYA SELAMANYA.
Jika nikmat dunia kita bertambah, namun cara kita
bertingkah polah semakin buruk; kita benar-benar bangkrut. Hari ini, sudah
Tuhan anugerahkan nikmat yang lebih banyak dari hari kemarin. Tapi, hari ini;
kita terlenakan dengan kenikmatan itu. Sampai-sampai kita berpikir; ˜ kapan
lagi menikmatinya”. Lalu kita mengumbar semua keinginan. Oh, bagaimana
sekiranya Tuhan menjadi marah. Marah karena Dia sudah memberi kita nikmat lebih
banyak. Namun, bukannya kita menjadi semakin mendekat. Sebaliknya, kita malah
menjadi lebih berani menghujat hukum-hukumNya.
Rugi. Bukanlah tentang berapa uang kita yang hilang.
Bangkrut. Bukan tentang bisnis yang tumbang. Melainkan tentang gagalnya diri
kita untuk menjadi manusia yang lebih baik dari hari kemarin. Jadilah manusia
yang lebih baik dari hari kemarin. Jadilah manusia yang lebih baik dari hari
kemarin. Jadilah manusia yang lebih baik dari hari kemarin. Jadilah. Manusia.
Yang beruntung.
Semoga Allah memberikan kekuatan kepada kita semua
untuk mampu mempertahankan dan meningkatkan prestasi amal sholeh kita semua,
amin ~(purwanto)